Gw bilang ke Lina kalau ada urusan sebentar. Lina pun ga tanya urusan apa. Mungkin dia sudah paham kalau bisnis itu urusan cowo. Apalagi di rumah ada Cathrine, jadi makin komplit alasan dia “ga mau tau.” Harusnya gw ga mengurus hal kayak gini. Tapi nama “Panjul” itu yang membuat gw tertarik untuk bergabung dengan Aji dan mungkin kawan-kawannya. Mereka pasti ada di posisi yang ga salah.
Hanya butuh waktu 15 menit, gw sudah mendarat di Tembalang. Aji sudah memberikan gw posisi dia ada di mana. Terlihat di depan sana Panjul dan teman-teman nya. Gw masih belum tau, ada urusan apa sebenarnya. Tapi sepertinya ga jauh-jauh dari urusan wanita ini sih.
“Ini ada apa boss?” Tanya gw ke Aji, setelah merapat dan mengamati suasana.
“Biasa Ndo. Ribut antar jurusan. Mereka nantang gitu buat duel.” Jelas.
“Lha terus? Ini kenapa malah saling berhadapan aja? Langsung mulai dong.” Pancing gw.
“Kayak ga tau bocah aja Ndo. Kita nonton aja ya. Ga usah ikut campur. Nanti kalau ada yang terdesak, baru deh kita pisahin.” Sial, jauh-jauh ke Tembalang hanya untuk melihat orang berantem?
“Terserah lu. Tapi kalau soal siapa yang salah, gw udah paham boss.” Ujar gw.
“Tetangga lu ya Ndo? Hahahaha Gokiel emang orang itu.
Lagi asyik ngobrol dengan Aji, baku hantam beneran terjadi. Awalnya memang seimbang, tapi semakin ke sini semakin tertekan si Panjul. Kalah dia. Dia kabur ke arah gw dan Aji ngobrol. Terlihat tatapan mata kurang senang waktu melihat gw. Gw? Bodo amat. Mau Panjul melotot kayak apa juga ga akan peduli gw. Asalkan dia ga memaki dan main fisik, akan gw abaikan.
“Masih aja petentang-petenteng dia Ndo.” Ujar Aji.
“Biarkan aja boss. Asalkan dia ga nyenggol, gw si bodo amat.”
“Hahaha.. Kos ku wae Ndo, ada bahan noh di sana.” Ajak Aji.
“Bahan? Tobat wahai saudara ku. Alkohol itu haram Ngoahahahaha..”
“Setan koe ya. Biasane pie Ndo?”
“Siap Hehehehe..”
Hari ini mabok lagi? Kayaknya sih ga. Hanya minum sedikit. Dosa? Kurang tau gw. Anggap saja ga, kan ga sampai mabok. Laen soal kalau sampai mabok, itu baru dosa. Ada tiga dewa, ada juga beer dan beberapa camilan yang sudah tersedia di kosan Aji. Personel yang ikut, ada lima orang termasuk gw. Enteng lah ini. Ya yakin masih bisa pulang dengan kepala yang ga berat. Masalahnya, bagaimana menyamarkan bau mulut. Itu saja sih. Kalau Lina tau, akan keluar siraman rohani ala-ala Cinta.
Nasib gw baik, karena saat gw pulang ke rumah Om Lee suasana sepi. Nampaknya lagi ga ada orang di rumah. Dengan cepat, gw mandi, gosok gigi dan buat kopi. Baru saja mengaduk kopi, Lina udah nongol sama Mamanya. Selamat. Mereka beli pecel dan gorengan di kampung sebelah rupanya. Hari ini mereka malas masak. Ga masalah sih buat gw, toh ini hari libur kan? Sekali-kali ngga terikat dengan rutinitas boleh lah. Kabar baik selanjutnya adalah, Lina ga tau kalau gw habis minum.
“Kamu dari mana tadi yanx?” Tanya Lina.
“Dari Tembalang Ta. Ketemu Aji. Ngobrol dan sapa tau ada peluang jual rumah kan. Teman nya dia kan banyak Ta.” Sedikit bohong sih. Karena bagian minum nya ga disebut.
“Amin yanx moga lancar biar cepet punya uang buat beli rumah sendiri.”
“Aku juga mau bisnis ah yanx. Mau bikin kue2 gitu. Pesenan dulu deh. Kalau lancar, lanjut bikin yang tetap dan dijualin di toko-toko.”
“Yakin kamu Ta? Dedek masih kecil lho. Kamu ga repot kalau harus urus dedek sambil kerja?” Tanya gw.
“Ga ah yanx. Dedek juga ga rewel kok. Lagian dari pada bengong ga ngapa-ngapain.”
“Ya udah. Yang penting besok kita ke Kudus dulu ya. Ngomong sama orang tua ku Ta.”
“Kalau itu sih siap yanx. Kamu makan dulu sana. Belum makan kan?” Tanya Lina.
“Belum Ta. Kamu kenapa ga masak?”
“Hehehe males yanx. Tadi keasyikan ngobrol sama Mama dan Cathrine.”
“Gosip ala emak-emak pasti.” Goda gw.
” Ada deh yanx. Cowo ga perlu tau ah. Hehehe..”
Jiwa pengusaha? Apakah Lina mewarisi bakat dari Papa nya soal bisnis? Di mana ketika dia melihat ada peluang, akan dia sambar untuk menghasilkan? Gw ga terlalu yakin sih. Berusaha itu bukan turunan, tapi lebih ke tekad. Bukan turunan pengusaha, kalau tekad dan kemauannya keras untuk bisa usaha, pasti jadi juga. Sebaliknya, kalau turunan pengusaha besar namun ga ada niat dan malas, ya ga akan jadi apa-apa.
Sisa hari, gw habiskan bercanda dengan anak gw. Sore nya ya cuci mobil dan mampir ke kosan. Bukan untuk ketemu siapa-siapa hanya mau membersihkannya aja. Jarang ditempati, bukan berarti harus dibiarkan bukan? Siapa tau gw sewaktu-waktu butuh menyendiri. Kan bisa tuh gw pakai tanpa risih karena tempat nya kotor dan ga terawat.
“Hi mas.” Sapaan yang gw kenal. Astrid. Si mba pelatih senam.
“Hi juga mba. Baru pulang kah?” Kebayang ga, cewe baru pulang senam dengan pakaian bawah yang dia pakai untuk senam dan atasan yang tertutup jaket, plus beberapa butir keringat yang belum kering benar?
“Iya nih mba. Kamu kok ga pernah kelihatan mas?” Tanya Astrid.
“Masak? Lha ini kelihatan ga mba? Hehehe..” Goda gw.
“Yeee.. Kemarin-kemarin mas. Kalau ini sih kelihatan.”
“Lagi banyak kerjaan mba. Jadi ya ga sempat untuk ke sini. Laju terus mba.” Jelas gw, lagi-lagi agak berbohong.
“Oh, kamu dari Kudus ko ya?”
“Yap. Kamu berarti di sini terus mba?” Kenapa gw malah nanya hal pribadi sih.
“Terpaksa sih mas. Karena di sini tempat yang aman dari gangguan si pengacau.”
“Kenapa ga diselesaikan dengan baik-baik saja sih mba? Kamu mau nya apa, dia apa. Lalu dicari deh jalan tengahnya.” Sok tua gw.
“Kalau orang punya otak sih enak mas. Kalau dia ga punya otak? Maunya dia apa, ya harus dituruti mas. Padahal aku udah malas.”
“Hm…” Bingung lah, mau ngomong apa.
“Kamu pasti heran ya mas?”
“Ga lah mba. Tiap orang kan punya masalah masing masing. Dan, tiap orang juga punya solusi menghadapi masalahnya. Yang kadang jadi masalah, orang ga tau apa-apa, tapi malah sok tau ingin memecahkan masalah orang lain.”
“Aku ga mau kayak gitu. Ya sebatas, kasih pandangan umum aja sih mba. Hehehe..”
“Makasih mas. Ya aku anggap ini yang terbaik sih mas. Sementara memang.”
“Gapapa mba. Oh iya, aku masuk dulu ya mba. Mau beres-beres nih.”
“Iya mas.”
Gw ga tertarik untuk tau lebih jauh urusan Astrid. Lha gw mikir hidup gw saja pusing, ngapain harus mikirin hidup dan urusan orang lain. Gw lanjut bersih-bersih kamar kos, terutama bagian kamar mandi nya. Sudah agak kotor karena ga terjamah. Gw juga sapu dan pel lantai kamar. Gw hidupkan PC, ada beberapa tugas dari kampus yang harus gw selesaikan. Mengapa ga di rumahnya Lina saja? Karena gw mau nya di sana itu santai dan fokus sama anak gw.
Lepas Magrib, gw rencanakan untuk pulang ke rumah nya Lina. Pokoknya, tugas harus selesai dulu biar ga ada beban. Suasana kosan ini sebenarnya mendukung untuk berfikir jernih. Kalau sudah di dalam kamar itu tenangan suara dari luar pun ga terlalu terdengar. Gw saja heran, padahal ga ada peredam dan kamar kanan kiri gw menyetel musik keras-keras. Harusnya, suara nya kan terdengar sampai luar.
“Ayanx, kamu balik kapan?” Sebuah BBM masuk dari Lina.
“Bentar lagi Ta. Ini baru selesai beresin tugas.” Balas gw.
“Kenapa ga kamu kerjain di rumah aja sih yanx. Kan aku bisa bantuin.”
“Hehehe.. Ga usah Ta. Kamu ga paham, ini kan bukan akuntansi.” Godain aja sekalian.
“Ih.. Maksudnya kan bantuin ngetik ayanx. Bukan bantuin mikir.”
“Hehehe.. Jangan juga, kamu udah repot urus dedek lho masak masih tak tambah urus tugas ku.”
“Wu.. Cepet pulang yanx, ditunggu Papa nih lho mau makan malam bareng.”
“Siapp boss ”
Kalau Lina yang nyuruh, mau hujan badai ditambah petir pun ga jadi masalah. Gw segera bereskan semua tugas gw, membawanya ke mobil untuk kemudian gw cabut balik ke rumahnya Lina. Sebelum gw masuk ke mobil, nampak ada yang mendekat ke arah gw. Waktu memang masih dekat dekat dengan Magrib. Gw ga tau gimana ceritanya, hingga mata gw menatap ke arah “orang” yang agak aneh.
Tingginya nyaris sama dengan gw, namun kulitnya itu lho penuh dengan bulu. Dan saat dekat saling beradu mata, matanya nampak putih semua. Cukup? Belum. Aroma dari makhluk ga jelas itu sangat busuk. Apa iya ini yang dinamakan setan. Gw sempat tertegun beberapa saat, sampai.
“Kakek ane! Bajingan!” MAKI gw keras-keras. Dan itu cukup untuk memancing penghuni kosan keluar. Lebih mereka yang ada di lantai satu.
“Ada apa mas?” Tanya salah satu penghuni bawah. Gw lihat arah berjalan tuh “orang” sudah ga ada bekasnya. Fix, demit.
“Gapapa mas. Kaget aja tadi.” Elak gw.
“Sorry-sorry mas kalau ganggu.” Ujar gw kemudian.
Mas-mas yang nanya tadi hanya menggeleng-geleng kepala kemudian masuk ke kamar lagi. Gw maklum si, emang gw yang sinting. Maki-maki “tanpa alasan.” Gw mau bilang ada orang aneh, juga ga ada buktinya kan? Jadi anggap saja itu halusinasi gw. Atau memang itu real, tapi hanya gw yang ketiban rezeki untuk lihat penampakannya dengan jelas.
Gw ga menceritakan apa yang barusan gw alami ke Lina. Buat ap? Selain hanya akan menimbulkan takut, bisa jadi Lina ga akan percaya. Cinta kan kurang atau malah ga tertarik sama sekali dengan yang namanya mistis, demit dan dunia yang ga bisa dibuktikan dengan akal, nalar, serta logika. Makam malam kali ini agak ramai, karena ada Cathrine yang juga ikut gabung dengan kita.
Selesai makan, Cathrine langsung cabut. Jadi tadi dia ceritanya ke sini karena ambil jaket yang ketinggalan. Sinting kan? Kenapa juga ga diambil besok saat pergi atau balik dari kampus? Uniknya manusia. Kadang apa yang kita pikirkan bisa berbeda dengan apa yang orang lain pikirkan. Saling menghormati saja sih. Kalau ga mau disenggol, ya jangan nyenggol.
“Lu ada waktu ke Salatiga ga Ndo.” Sebuah sms masuk dari Arief.
“Kapan? Kegiatan lagi padat merayap Pret. Tapi gw usahakan.” Balas gw.
“Sebaiknya lu beneran usahakan Ndo. Ada yang ingin Pak Arief sampaikan ke lu.”
“Penting banget kah Pret? Apa gw perlu untuk nelpon Guru?” Tanya gw.
“Kalau bisa jangan by phone. Selain kurang elok, juga karena ini penting banget.”
“Soal? Balas napa.” Cecar gw.
“Ga bisa Ndo. Karena gw takut hal yang ga seharusnya gw sampaikan, malah gw sampaikan. Pak Arief yang lebih paham.” Main teka teki dia.
“Pasti soal perkawinan beda agama kan?” Agenda gw yang paling dekat kan ini.
“Gw ga bisa ngomong Ndo. Tapi tolong untuk kali ini lu ga usah banyak nanya. Lu langsung ke Salatiga saja.”
“Kayak apaan aja sih Pret? Kalau mau lu gitu, OK gw akan ke sana secepatnya.
Memang ada orang yang tau sebuah peristiwa bahkan sebelum peristiwa itu terjadi. Bukan karena dia hebat, tapi karena Tuhan mengizinkan. Namun bagi orang yang tertutup hatinya, sulit untuk memahami kode yang Arief kirimkan. Sebuah kesalahan yang bahkan nyaris mengantarkan gw ke neraka sebenarnya. Gw punya teman baik, peduli, tapi gw abaikan semua yang dikatakannya. Sesuatu yang ga akan gw ulangi di masa depan..
Ciaooo…